Senin, 23 Mei 2011

Belajar dari Film Kartun

Dalam anime, kita sering melihat karakter yang memiliki kekuatan atau tenaga dalam yang dapat dihasilkan oleh tubuh. Salah satu contohnya, di dalam anime dragon ball, Songoku mampu mengeluarkan jurus kamehame. Dalam Dragon Ball, energi semacam itu disebut energi Ki, dalam naruto kita mengenal chakra, kemudian dalam bleach disebut reiatsu, dan …lain-lain. Nah, di dalam Hunter X Hunter, energi semacam itu disebut Nen.

Tapi, secara definisi, nen merupakan serangkaian/sekumpulan teknik yang digunakan untuk mengendalikan aura (medan energi) yang terdapat dalam tubuh seseorang sehingga dapat digunakan/dimanfaatkan lebih lanjut.

Contohnya, mengendalikan aura sehingga dapat meningkatkan efisiensi/kekuatan pada tubuh seseorang.

Dalam hal ini, nen memiliki arti/filosofi yaitu untuk mengobarkan semangat atau memperkuat keinginan seseorang. Untuk melakukan ini, ada beberapa dasar yang harus dipelajari yaitu :

  1. Ten yang diartikan sebagai “Maksud/tujuan” – yaitu mengonsentrasikan jiwa dan pikiran pada satu hal, memilih tujuan/sasaran dimana kita akan menggunakan nen kita
  2. Zetsu yang diartikan sebagai “bahasa” – yaitu mengubah apa yang kita pikirkan ke dalam kata-kata
  3. Ren yang diartikan sebagai “finishing” – yaitu memperkuat/memperbesar keinginan kita
  4. Hatsu yang diartikan sebagai “proyeksi” – yaitu mengubah semua yang telah dilakukan menjadi suatu tindakan yang dapat mempengaruhi objek lain.
Ilustrasi :

Pertama kita melakukan Ten dengan berkonsentrasi pada 1 hal pada lawan, misal : “Mati”

Kemudian dengan zetsu, kita mengubahnya menjadi serangkaian kata : “Aku akan membunuhmu”. Katakata tersebut tidak harus diucapkan, yang penting kata-kata tersebut harus kita pikirkan terus secara jelas.

Setelah itu, gunakan Ren, yaitu memperbesar keinginan kita tersebut sehingga pikiran “aku akan membunuhmu” menjadi semakin kuat.

Terakir adalah Hatsu, yaitu memproyeksikan semua hal tadi lewat energi spiritual yang dikeluarkan dari tubuh kita ke orang lain sehingga mereka dapat merasakan maksud dan kesungguhan kita.

Dalam melakukan intidmidasi dengan nen, seseorang harus memiliki tujuan yang kuat.
Jika tujuan kita goyah, maka kita akan gagal. Untuk mengatasi serangan ini, kita harus melawannya dengan cara yang sama dan menunjukkan bahwa kita lebih unggul dibanding lawan kita. Contoh, kita bisa menggunakan kata : “Aku dapat melawanmu”.

Untuk mempelajari nen, ada beberapa teknik dasar yang harus dikuasai. Teknik ini merupakan kemampuan yang pertama yang diajarkan dan harus dimiliki seseorang yang ingin mendalami nen. Bagi seorang pemula, konsentrasi yang sangat tinggi dibutuhkan untuk dapat mempelajari teknik dasar ini. Akan tetapi, bagi pengguna nen yang sudah mahir, teknik ini sudah dianggap menjadi kemampuan alami mereka sehingga dapat digunakan dengan sendirinya tanpa perlu konsentrasi dan usaha ekstra.

Contohnya, seorang pemula akan perlu konsentrasi tinggi dalam menggunakan teknik Ten karena mereka harus dapat mengendalika aliran auranya dengan baik. Namun bagi yang sudah mahir, dalam keadaan tidur pun, Ten mereka akan aktif.

http://kampussamudrailmuhikmah.wordpress.com/2011/03/15/belajar-dari-film-kartun/

Rindu, Siswa yang Inisiatif Energik



Rindu, Siswa (yang) Inisiatif Energik

Siswa didik sering kurang berinisiatif dalam pembelajaran nonkinestetik. Misal dalam pelajaran bahasa Indonesia, sejarah, IPA, dan matematika. Artinya, ketika siswa didik menjumpai kesulitan dalam menghadapi soal, kurang memiliki kecekatan dalam mencari solusi. Siswa didik lebih banyak pasif. Kalau tidak diperintah oleh guru/pembimbing, mereka tidak beranjak dari keterdiaman. Bahkan, meskipun telah disuruh, kegesitannya dalam merespon boleh dibilang lamban. Sehingga bisa saja guru/pembimbing tak sekali menyuruh. Bisa berkali-kali.
Berbeda dengan pembelajaran yang kinestetik, seperti olahraga. Dalam pembelajaran olahraga, yang suatu saat saya lihat, sungguh “menggairahkan”. Saat itu, siswa didik putra bermain futsal di lapangan sekolah, tanpa ditunggu oleh guru olahraga karena guru olahraga sedang berkonsentrasi pada siswa didik putri di bagian lain. Permainan futsal terlihat sangat bersemangat. Para pemain sungguh dapat menghargai aturan permaianan. Terbukti ketika berkali-kali ada pelanggaran yang dialami oleh pemain yang berbeda, mereka dapat menaati “hukuman” yang harus ditanggung. Terlihat tak ada yang protes. Mereka sungguh menaati aturan yang ada.

Namun, yang membuat saya, sebagai guru nonkinestetik, agak iri adalah ketika bola futsal yang mereka pakai bermain tersangkut di atas atap sekolah, mereka segera memiliki inisiatif. Padahal, seperti tadi yang telah saya sebut di atas, guru olahraga tak berada di antara mereka. Inisiatif itu tumbuh dengan sendirinya di antara mereka. Tanpa disuruh oleh guru, tentu. Tapi, mereka sangat gesit mencari solusi. Terbukti, dalam hitungan detik atau menit (begitu), mereka sudah membawa tangga secara gotong royong. Lantas, saling membantu dalam memegang posisi tangga karena ada yang naik, dan tampaknya, yang naik itu pun tak diperintah oleh siapa-siapa. Bahkan, yang menarik adalah ada kelompok anak lain yang memembawa tangga lagi, sekalipun akhirnya dikembalikan karena dilihatnya telah ada tangga yang dipakai kelompok anak yang lebih dulu. Dalam konteks ini, betapa “mengalirnya” inisiatif siswa didik.

Mereka sangat mudah menemukan solusi ketika menghadapi permasalahan. Daya kreativitasnya tumbuh begitu rupa secara bebas. Tanpa tanggung-tanggung. Upaya mereka sangat maksimal. Dan, sikap seperti inilah yang sejatinya dirindukan oleh banyak guru, guru mata pelajaran (mapel) apa saja. Akan tetapi, begitulah fakta yang ada. Siswa didik di mapel nonkinestetik kurang seenergik siswa didik di mapel kinestetik dalam berinisiatif menemukan solusi. 
 
http://sungkowoastro.blogspot.com/2010/11/rindu-siswa-yang-inisiatif-energik.html

Film Kartun Sebagai Media Pembelajaran

3.12.10
1. Film Kartun Sebagai Media Pembelajaran di Rumah
Film kartun sebagai media hiburan sampai sekarang masih mendapat tempat di hati para pecinta atau penggemarnya. Penggemar film jenis ini tidak memandang usia, meskipun film jenis ini kebanyakan untuk konsumsi anak-anak. Ada juga film kartun untuk usia remaja dan dewasa. Yang membedakan film kartun anak-anak dengan film kartun dewasa adalah pada penokohan, tema cerita dan amanat/pesan.
Film yang sampai saat ini masih didominasi produsen Jepang dan Amerika Serikat ini selain mengandung unsur hiburan juga mengandung unsur pendidikan, meskipun kadang terselip unsur permusuhan dan kekerasan. Dua hal yang senantiasa kita hindarkan pengaruhnya bagi anak-anak.
Anak-anak sebagai konsumen terbesar film kartun jika kita biarkan bebas biasanya saking cintanya pada film ini bahkan sampai melupakan sebagian besar waktunya untuk belajar dan membantu bekerja. Jika kita melarang mereka menonton sepertinya ini terlalu ekstrim. Yang lebih memprihatinkan setelah usai menonton film ini mereka tidak dapat menangkap pesan moral dari film tersebut, yang membekas di benak mereka justru unsur negatifnya saja. Misalnya tokoh jagoannya, aksi pukul, bicara kasar/keras, pertengkaran dan kekerasan lainnya yang dikemas secara lucu dan menggelikan.Tak jarang mereka menirukan aksi-aksi tokoh kartunnya.
Sebagai langkah bijaksana alangkah baiknya jika anak-anak kita dampingi saat menyaksikan film kartun sambil kita jelaskan pesan-pesan moral seperti : kejujuran, keteguhan, toleransi, kebijaksanaan, kesabaran dan sebagainya. Dengan begitu selain film kartun sebagai media hiburan dan tontonan namun juga sebagai tuntunan dan media pembelajaran budi pekerti anak-anak kita di rumah.
2. Film Kartun Sebagai Media Pembelajaran di Sekolah
Di sekolah, guru yang berperan sebagi seorang pengajar dan pendidik mempunyai peran dan fungsi starategis dalam menanamkan pengetahuan dan akhlak/budi pekerti bagi para siswa. Di satu sisi ada harapan dan mungkin tuntutan agar siswa nantinya menjadi manusia berilmu (pandai,cerdas) namun di sisi lain yang lebih berat adalah agar siswa nantinya menjadi manusia berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia (akhlakul kharimah). Karena kalau manusia hanya cerdas saja tetapi tidak berakhlak bisa-bisa nanti setelah dewasa akan menjadi penjahat rakyat, koruptor, markus, dsb.
Saya memahami dan mengerti, bahwa seluruh guru sudah berkali-kali dan tiada henti setiap hari selalu menasihati dan memberi contoh sikap dan perilaku luhur kepada segenap siswa-siswinya. Dengan berbagai cara, metode dan strategi diterapkan untuk mendidik siswa agar menjadi insan berakhlak mulia. Namun jika siswa hanya diceramahi melulu setiap hari tentu akan merasa bosan, jenuh, dan mungkin kebal. Maka pada kesempatan ini saya akan menyampaikan gagasan film kartun sebagai media pembelajaran di sekolah dalam rangka menanamkan sikap perilaku yang terpuji, budi pekerti luhur dan akhlak mulia. Mata pelajaran yang relevan yaitu PKn (Pendidikan Kewarganegaraan), Pendidikan Agama atau Bahasa Indonesia.
Dengan menggunakan media film kartun diharapkan proses pembelajaran akan PAKEM, lebih menantang dan semakin bermakna. Relevansinya dengan postingan terdahulu tentang 11 Indikator PAKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan) pada komponen pertama (Metode Pembelajaran) indikator pertama yaitu Kegiatan belajar siswa menggunakan metode pembelajaran yang bervariasi. Lalu pada komponen kedua (Pengelolaan Kelas) indikator pertama yaitu Kegiatan belajar siswa bervariatif. Termasuk juga komponen kelima (Sumber belajar dan alat bantu pembelajaran) pada indikator pertama yaitu Guru menggunakan berbagai sumber belajar.
Namun di sini saya tegaskan bahwa penggunaan media film kartun ini bukan yang utama melainkan hanya sebagai selingan saja , sebagai penambah motivasi belajar dan membawa angin segar suasana pembelajaran, selain tentu saja penanaman nilai-nilai moral. Tidak semua film kartun layak dijadikan sebagai media pembelajaran, maka kita atau pun guru sudah seharusnya melakukan proses seleksi terlebih dahulu mana film yang relevan dan layak dijadikan media pembelajaran.
3. Pesan-Pesan Moral Film Kartun
Setiap pembuatan film kartun selain mengedepankan unsur hiburan dan bisnis, terdapat sisipan pesan moral dari penciptanya. Ada yang jelas kelihatan, ada pula yang tersamar. Ada yang nilai kadarnya tinggi ada pula yang hanya sedikit. Adapun pesan-pesan moral yang terdapat pada film-film kartun di Indonesia antara lain : kejujuran, suka menolong, ketegasan, percaya diri, pantang menyerah, santun, ksatria, dsb. Kita tidak bisa menghindari unsure negatif film kartun (misalnya adanya tokoh-tokoh jahat) tetapi paling tidak meminimalisir dan berusaha menetralisir keadaan dengan penjelasan logis tentang prinsip keseimbangan. Seperti istilah adanya Ying dan Yang, ada baik ada buruk. Dua hal tang tak dapat terpisahkan. Beberapa contoh film kartun yang sering ditonton dan disukai anak-anak dan mengandung unsur mendidik budi pekerti, misalnya : Sponge Bob (persahabatan ), Dora The Explorer (petualangan), Scoobe Doo (pemberantas kejahatan), Avatar The Legend (perjuangan dan kepahlawanan), Kungfu Panda dan lain-lain.
4. Pemanfaatan Film Kartun Sebagai Media Pembelajaran di Sekolah
Pra Pembelajaran
  1. Guru mempersiapkan alat-alat dan media pembelajaran seperti : computer/laptop, LCD Proyektor dan layar, serta film kartun pilihan.
  2. Guru menyiapkanLembar Kerja.
  3. Guru mengkondisikan siswa belajar dengan media baru (film kartun).
Contoh Langkah-langkah Pembelajarannya :
  1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran/KD.
  2. Siswa dibentuk menjadi beberapa kelompok beranggotakan 3-4 anak.
  3. Guru memutarkan film kartun terpilih dan siswa menyaksikannya dengan seksama.
  4. Guru membagikan Lembar Kerja (berisi pertanyaan mengenai film kartun tersebut).
  5. Siswa berdiskusi mengerjakan LK secara kelompok.
  6. Setelah selesai, setiap kelompok menampilkan hasil diskusi/ LK di depan kelas secara bergiliran.
  7. Diskusi kelas dipimpin guru.
  8. Evaluasi.
  9. Refleksi dan Penutup.
Demikianlah, mudah-mudahan postingan ini dapat menambah khasanah pembelajaran kita sehingga pembelajaran yang dirancang Bapak/Ibu Guru dapat lebih bervariatif, lebih bermakna, menantang sekaligus menyenangkan.

http://www.keguruan.co.cc/2010/12/film-kartun-sebagai-media-pembelajaran.html

Selasa, 03 Mei 2011


http://klmnsetia.blogspot.com/2010/10/kartun-sebagai-media-yang-mengasikkan.html

KARTUN SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN


Kartun (Cartoon) berasal dari bahasa Italia cartone yang artinya kertas. Pada mulanya kartun adalah penamaan bagi sketsa pada kertas a lot (stout paper) sebagai rancangan atau desain untuk lukisan kanvas atau dinding. Pada saat ini kartun adalah gambar yang bersifat dan bertujuan sebagai humor satir (I Dewa Putu Wijana, 2004 : 4). Kartun tidak hanya merupakan pernyataan rasa seni untuk kepentingan seni semata-mata, melainkan mempunyai maksud melucu, bahkan menyindir dan mengkritik. Di dalam media ini Kartun disajikan sebagai selingan dan membantu siswa setelah pembaca/siswa menikmati materi yang ada dalam buku yang lebih serius. Dengan kartun, para pembaca dibawa ke dalam situasi yang lebih santai, meskipun pesan-pesan di dalam beberapa kartun sama seriusnya dengan pesan-pesan yang disampaikan lewat buku, pesan-pesan kartun sering lebih mudah dicerna atau dipahami sehubungan dengan sifatnya yang menghibur. Tambahan pula kritikan-kritikan yang disampaikan secara jenaka tidak begitu dirasakan melecehkan atau mempermalukan.
Menurut Anderson (I Dewa Putu Wijana, 2004 : 5) aspek pertentangan dalam tradisi penciptaan kartun sebenarnya bukanlah lebih mementingkan naluri untuk mengkritik, melainkan lebih menekankan fakta-fakta historis bahwa masyarakat telah memasuki bentuk komunikasi politik yang modern, dan tidak lagi mempergunakan kekuatan atau kekuasaan. Seperti kutipan ini :” Cartoons were a way of creating collective consciences by people without acces of bureaucratic or other institutionalized forms of political muscle”.
Kartun adalah alat untuk menciptakan kesadaran kolektif tanpa harus memasuki birokrasi atau berbagai bentuk kekuatan politik. Kartun, seperti halnya film merupakan bentuk komunikasi politik biasanya diciptakan sebagai reaksi terhadap peristiwa sejarah tertentu sehingga memungkinkan digali atau di cari isi faktanya.
Masyarakat selama ini menganggap karikatur mencakup seluruh kartun yang bersifat atau bertujuan mengkritik atau menyindir, sedangkan pengertian kartun sering di batasi hanya pada gambar bermuatan humor. Sebenarnya karikatur hanyalah bagian dari kartun dengan ciri deformasi atau distorsi wajah, biasanya wajah manusia (tokoh) yang dijadikan sasarannya. Noerhadi di dalam artikelnya yang berjudul kartun dan karikatur sebagai wahana kritik social mendefinisikan kartun sebagai suatu bentuk tanggapan lucu dalam citra visual (I Dewa Putu Wijana, 2004 : 7). Dalam artikel ini konsep kartun dipisahkan secara tegas dengan karikatur. Tokoh-tokoh kartun bersifat fiktif yang dikreasikan untuk menyajikan komedi-komedi sosial serta visualisasi jenaka. Sementara itu, tokoh-tokoh karikatur adalah tokoh-tokoh tiruan lewat pemiuhan (distortion) untuk memberikan persepsi tertentu kepada pembaca sehingga sering kali disebut portrait caricature. Kata karikatur (caricature) berasal dari bahasa Italia caricatura yang artinya memberi muatan atau beban tambahan, yang direka adalah tokoh-tokoh politik atau orang-orang yang karena peristiwa tertentu menjadi pusat perhatian. Dalam hal ini deformasi jasmani tokoh-tokohnya itu tidak selamanya dimaksudkan sebagai sindiran, melainkan dapat juga hanya untuk menampilkannya secara humoristis.
Kartun adalah penggambaran dalam bentuk lukisan atau karikatur tentang orang, gagasan atau situasi yang didesain untuk mempengaruhi opini masyarakat.(Nana Sudjana dan Ahmad Rivai, 2005 : 58). Walaupun terdapat sejumlah kartun yang berfungsi untuk membuat orang tersenyum, seperti halnya kartun-kartun yang dimuat dalam surat kabar. Kartun sebagai alat bantu mempunyai manfaat penting dalam pengajaran, terutama dalam menjelaskan rangkaian isi bahan dalam satu urutan logis atau mengandung makna. Kartun yang baik hanya mengandung satu gagasan saja. Kekuatan kartun untuk mempengaruhi pendapat umum, terletak pada kekompakannya, penyederhanaan isunya, dan perhatian yang sungguh-sungguh yang dapat dibangkitkan secara tajam melalui gambar-gambar yang mengandung humor. Kartun merupakan sumber informasi yang disajikan melalui dampak visual. Banyak orang yang tidak membaca edisi surat kabar akan tetapi mengikuti kartunnya secara tetap. Inilah salah satu sisi keunggulan kartun dalam menginformasikan berita yang sebenarnya merupakan kritikan yang keras tetapi karena dikemas menjadi sebuah kartun yang sifatnya jenaka maka kritikan tersebut seolah-olah menjadi lelucon tetapi tetap mengenai sasaran.
Siswa yang berbakat matematika tanpa memahami fenomena alam bisa terjebak pada segi matematis saja dengan menghiraukan arti fisisnya. Siswa mahir memecahkan persamaan matematika yang sulit dalam fisika, tapi bisa mengalami kesulitan menyimpulkan arti fisis dari relasi matematika yanf diperoleh. Tidak jarang kelemahan tersembunyi ini terbawa sampai masuk ke fakultas eksakta sains atau teknik. Dengan visualisasi kartun, konsep-konsep fisika diperkenalkan dengan cerita. Persamaan matematika untuk menjelaskan konsep itu dimulai dengan hubungan sederhana dengan operasi tambah, kurang, kali, bagi. Beberapa konsep bisa jatuh menjadi abstrak oleh guru yang tidak mampu menjelaskannya sehingga materi terkesan sulit. Pengertian percepatan negatif misalnya, diperkenalkan dengan beberapa ilustrasi yang sebagian menjadi jembatan untuk memahami konsep gaya. Ini memang khas cara seorang guru yang benar-benar guru yang mau menjelaskan satu konsep dengan berbagai pendekatan untuk memahami konsep lain yang terkait.


http://sriyantosmansasolo.blogspot.com/2010/09/kartun-sebagai-media-pembelajaran.html

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger